Tuesday, September 23, 2008

Kompas September 2008

Implementasi Aturan Membingungkan Sekolah
Selasa, 23 September 2008 | 00:39 WIB

Bandung, Kompas - Kepala sekolah dan guru di Kota Bandung saat ini merasa bingung dan cemas mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Belum lagi adanya pemanggilan dari Kejaksaan Tinggi. Mereka saat ini sangat membutuhkan arahan dan penjelasan tentang solusi menggali dana pendidikan.
Kebingungan dan kecemasan ini terlihat dari serangkaian pemantauan di sejumlah sekolah tingkat dasar, Senin (22/9). Meski masih muncul ragam penafsiran tentang aturan ini, sekolah memilih ”jalan aman” tidak melakukan pungutan iuran sekolah sementara waktu ini sampai munculnya petunjuk teknis tentang aturan ini.
”Aturan ini kan masih membingungkan. Apakah akan dilaksanakan sekarang atau pada 2009. Tidak ada sosialisasi dan penjelasan pasti tentang ini,” tutur Kepala SDN Merdeka V-III Apandi. Ia pun bingung apakah bisa menjalankan anggaran sekolah tahun ajaran 2008/2009 yang telah disusun atau harus mengubahnya dan menyesuaikan dengan PP No 48/2008. ”Takutnya kami juga yang ujung-ujungnya nanti disalahkan,” ujarnya.
Pemanggilan dari Kejaksaan Tinggi adalah hal yang ditakutkan oleh sejumlah kepala sekolah. Beberapa kepala sekolah sebelumnya telah diingatkan Kejaksaan Tinggi agar tidak melakukan pungutan dana kepada masyarakat, khususnya untuk alokasi insentif guru.

Kehilangan insentif

Titin, guru SDN Banjarsari, Kota Bandung, terancam kehilangan insentif bulanan Rp 400.000-Rp 500.000 per bulan jika ketentuan PP 48/2008 diimplementasikan. Namun, hal ini dapat diterimanya sebagai sebuah konsekuensi aturan.
Menurut Achmad Taufan, guru SDN Merdeka yang juga Ketua I Forum Aspirasi Guru Independen Kota Bandung, langkah pemanggilan terhadap kepala sekolah menunjukkan adanya perbedaan persepsi di dalam memahami aturan tentang pungutan dana dari masyarakat.
”Makanya, kami merekomendasikan agar ada pengkajian bersama. Semua pihak, termasuk Kejaksaan, harus duduk bersama menyikapi ketentuan pendanaan pendidikan,” tutur Taufan.
Rekomendasi ini merupakan hasil focus group discussion yang digelar sejumlah pihak yang berkaitan dengan pendidikan di Kota Bandung.
Wakil Education Forum Yanti Sriyulianti mengungkapkan, pemerintah harus murni dan konsekuen menjalankan amanat konstitusi, yakni memenuhi hak atas pendidikan yang bebas biaya dan bermutu. Untuk meningkatkan mutu tersebut terkait erat dengan guru yang sejahtera.
Ia sendiri melihat terdapat ketidakkonsistenan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Dalam peraturan pemerintah tersebut, pemerintah sangat ketat mengatur tentang wajib belajar bebas biaya. Akan tetapi, di PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan terdapat pasal yang menyebutkan pendanaan pendidikan berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
”Ini kembali melegalkan pungutan. Bahkan, Pasal 51 PP 48 benar-benar resmi mengatur pungutan. Ini terjadi inkonsitensi,” ujarnya. (JON/INE)

Dana Pendidikan Multitafsir
Pemerintah Perlu Tegas soal Sumbangan
Senin, 22 September 2008 | 00:41 WIB


Jakarta, Kompas - Pemanggilan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat terhadap sejumlah kepala sekolah di Bandung menunjukkan adanya multitafsir terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Oleh karena itu, persoalan beda persepsi terhadap peraturan ini harus segera diluruskan.
Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Iwan Hermawan, Minggu (21/9), mengatakan, perlu sosialisasi dan penyatuan pemahaman tentang materi Peraturan Pemerintah (PP) No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan PP No 47/2008 tentang Wajib Belajar.
Menurutnya, aturan ini multitafsir. Di satu sisi disebutkan pendidikan di tingkat dasar wajib tidak memungut biaya. Namun, masih di aturan yang sama, Pasal 51 dan 52, masih dimungkinkan adanya pungutan.
”Saya yakin, guru-guru pun masih kebingungan tentang aturan ini,” tuturnya. ”Jangan sampai akibat salah langkah, guru dan kepala sekolah terkena kasus hukum,” katanya menambahkan.
Koordinator Education Forum, Muhammad Abduh, mengatakan, semua pihak perlu menyatukan paham tentang pendidikan dasar gratis. Perlu ditegaskan soal sumbangan dana dari masyarakat untuk operasionalisasi pendidikan dasar. Termasuk komponen insentif guru.
”Agar kesejahteraan guru tidak terabaikan, insentif itu semestinya didanai dari APBD,” ujarnya. Ia mencontohkan kasus Kabupaten Tegal yang sukses melakukan kebijakan ini.
Ia menyesalkan sikap sekolah yang praktiknya mencoba menyamarkan pungutan ini melalui mekanisme sumbangan.
Sejahterakan guru
Secara terpisah, Manajer Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, di Jakarta, mengatakan, semua pihak harus mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar memerhatikan dan meningkatkan kesejahteraan guru.
”Hak guru ada di dalam anggaran negara, bukan di orangtua. Guru dan orangtua itu sama- sama korban dari kebijakan dan harus bersatu memperbaiki keadaan,” ujar Ade.
Ade mengatakan, untuk guru berstatus pegawai negeri seharusnya tidak boleh ada penerimaan lain dari masyarakat karena perannya sebagai pelayan publik dan telah digaji negara. Peningkatan kesejahteraan berasal dari pemerintah.
Untuk itu, guru perlu ikut mengkritisi anggaran pendidikan termasuk anggaran kesejahteraan guru dalam APBN serta APBD. ” Mereka harus memperjuangkan haknya dan tidak boleh alergi dengan proses penganggaran,” kata Ade.
Menurutnya, di sejumlah daerah sebetulnya telah ada kesadaran untuk memberikan tunjangan tambahan guru, seperti Kabupaten Tangerang dengan besaran sekitar Rp 400.000 per bulan per guru dan di DKI Jakarta sekitar Rp 2 juta per bulan. ”Sayangnya, tidak semua daerah sadar untuk memberikan tambahan tersebut,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman mengatakan, pemanggilan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat terhadap sejumlah kepala sekolah dapat menjadi peringatan agar berhati-hati dalam melakukan pungutan. Namun, menurut dia, perlu ketegasan dari pemerintah agar sekolah tidak kebingungan.
”Persoalannya, pemberian insentif itu selama ini dipandang sebagai kelaziman dan bukan pelanggaran,” ujarnya. (JON/INE)

Bantuan Pendidikan
Pencairan BOS Buku Tahun Ini Belum Pasti
Laporan Wartawan Kompas Yulvianus Harjono

BANDUNG, KOMPAS--Hingga saat ini, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat belum juga mendapat kepastian waktu maupun alokasi pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS buku dari pemerintah pusat. Kelambatan pencairan ini praktis mengundang kritik mengenai efektivitas pemanfaatan BOS buku.
”Kami belum dapat informasi mengenai kepastian pencairannya untuk tahun ini. Mungkin, baru akhir September nanti bisa dipastikan. Soalnya, masih ada sejumlah revisi di pusat. Saya sendiri tidak yakin kalau akan dicairkan tahun ini. Yang bisa dipastikan, untuk tahun anggaran 2007/2008 mendatang,” ujar Kepala Sub Dinas Pendidikan Dasar Menengah Disdik Provinsi Jabar Bambang Sutrisno, Rabu (6/9).
Berdasarkan hasil rapat koordinasi terakhir di Jakarta, tambah Bambang, diperoleh informasi bahwa keputusan selanjutnya ada pada Menteri Keuangan RI. Sebabnya, ini terkait adanya revisi anggaran senilai Rp 800 miliar yang diajukan Departemen Pendidikan Nasional.
Alokasi bantuan pembelian buku ajar senilai Rp 20.000 per siswa (wajib belajar) ini diputuskan untuk dibagi merata ke 33 Provinsi. Jadi, tidak lagi hanya 12 provinsi yang nilai ujian nasional-nya jeblok.
Seperti BOS pada umumnya, dana ini akan disalurkan pemerintah pusat ke masing-masing dinas pendidikan di tingkat provinsi. Selanjutnya, dana ini akan diteruskan ke rekening tiap-tiap sekolah yang berhak.
Pemanfaatannya, wajib untuk pembelian buku-buku ajar yang telah direkomendasikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Jendral Forum Orangtua Siswa (Fortusis) Dwi Subawanto mengaku kecewa terhadap kebijakan pemerintah tersebut. Selain keterlambatan, yang sangat disesalkan adalah minimnya besaran bantuan. Kebijakan tambal sulam ini dianggapnya tidak akan efektif mengatasi persoalan penyediaan buku yang kerap datang di tahun ajaran baru.
”Dana Rp 20.000 tidak akan terlalu berpengaruh bagi siswa. Bayangkan, rata-rata kebutuhan siswa untuk buku per tahunnya saja mencapai Rp 800.000. Harga LKS (lembar kerja siswa) per buahnya saja Rp 7.500. Sangat sedikit buku ajar yang berada di bawah harga Rp 20.000. Lebih baik, pemanfaatannya dikolektifkan dengan menyerahkannya ke perpustakaan. Sehingga, bisa lebih terakses siswa yang kurang mampu,” ujarnya.
Senada dengan Dwi Subawanto, Sekretaris Jendral Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan berpendapat, dana tersebut alangkah baiknya jika dirubah pemanfaatannya menjadi bantuan pengadaan buku ajar di sekolah. Jadi, pengelolaannya dilimpahkan ke sekolah.
”Bantuan itu jumlahnya sangat kecil. Bukankah lebih baik jika buku itu dimanfaatkan secara kolektif, sebagai bahan koleksi perpustakaan. Tetapi, wajib berupa buku ajar yang bisa dibawa pulang dan diprioritaskan bagi siswa kurang mampu. Sehingga, buku ini jadi bisa terus dimanfaatkan ke siswa-siswa berikutnya,” ucapnya menambahkan.



FGII Desak Kepastian Kepala Disdik Kota Bandung

BANDUNG, KOMPAS – Forum Guru Independen Indonesia mendesak pihak terkait khususnya Pemerintah Kota Bandung segera memastikan dan melantik calon Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung terpilih. Akibat kekosongaan jabatan Kepala Disdik Kota Bandung selama ini, regulasi pendidikan yang dianggap strategis menjadi terhambat khususnya mengenai periodesasi kepala sekolah.
”Kami khawatir, pengangkatan Kadisdik ini dipengaruhi unsur politis. Salah satu gejala terlihat, kepastiannya makan waktu lama. Yang jadi persoalan kemudian, kekosongan jabatan ini kan mengakibatkan regulasi pendidikan di Kota Bandung terhambat. Ini terlihat dari sejumlah kasus pendidikan yang muncul,” ujar Sekretaris Jendral FGII Iwan Hermawan, Senin (4/9).
Keberadaan pelaksana tugas harian, ungkap Iwan, dinilai tidak akan mampu secara maksimal mengurusi persoalan eksternal khususnya dalam hal regulasi. Sebabnya, Plt sehari-hari disibukkan untuk mengurusi persoalan internal, misalnya manajemen kelembagaan. ”Bagaimanapun, regulasi yang sifatnya strategis lebih optimal jika dihasilkan dari pejabat yang definitif,” ucapnya menambahkan.
Macetnya regulasi strategis di bidang pendidikan Kota Bandung antara lain terindikasi dari sejumlah kasus atau persoalan yang muncul akhir-akhir ini. Beberapa di antaranya, yaitu kasus pungutan dana talangan kejar paket dan penjualan buku oleh sejumlah sekolah seperti yang dilaporkan oleh Forum Orangtua Siswa (Fortusis). Meski temuan tersebut telah berlangsung hampir sebulan, tidak terlihat adanya kebijakan tegas berupa sanksi maupun pelaporan hasil investigasi.
Terbengkalai
Menurut Iwan, persoalan strategis lain yang terbengkalai akibat kekosongan jabatan Kepala Disdik tersebut adalah periodesasi kepala sekolah. Terhitung akhir Mei 2006 lalu, sekitar 70 persen kepala SMA dan SMP negeri se-Kota Bandung saat ini diketahui habis masa (periode) kerjanya. Namun, hingga kini belum terlihat tanda-tanda muncul regulasi perombakan kepala sekolah dari dinas.
”Periodesasi terakhir kan dilakukan pada bulan Mei 2002. Mengacu pada Perda Kota Bandung, jabatan ini kan semestinya berakhir pada Mei 2006 kemarin. Padahal, Edi Siswadi (Kepala Disdik Kota Bandung sebelumnya) sebelumnya berjanji akan melaporkan periodesasi pada Agustus 2006. Sementara, bulan September sudah akan ada mutasi,” ungkap Iwan menjelaskan.
Mengacu pada ketentuan pengangkatan kepala sekolah, hanya personal yang dinilai berprestasi yang berhak mendapat perpanjangan masa jabatan setahun. Sebaliknya, mereka yang dinilai tidak berprestasi terpaksa dicopot dengan hanya menyandang jabatan fungsional selaku guru pengajar. Periodesasi kepala sekolah ini dinilai sangat urgen dan relevan dalam mengoptimalisasikan kinerja sekolah, khususnya efisiensi anggaran.
Sementara itu, dari bagian admisistrasi Sekretaris Daerah Kota Bandung dilaporkan, Pemkot Bandung hingga saat ini belum mendapat tembusan hasil pemilihan calon Kepala Disdik Kota Bandung. Sebelumnya, Wali Kota Bandung Dada Rosada mengajukan tiga nama calon Kadisdik pengganti untuk diusulkan kepada Gubernur Jawa Barat. Dada Rosada hanya bersedia membocorkan salah satu nama calon yang diusulkan, yaitu Wakil Kepala Disdik Kota Bandung, Oji Mahroji yang kini menjabat Plt. (JON)

No comments: