Showing posts with label Advokasi hak-hak pekerja profesi guru. Show all posts
Showing posts with label Advokasi hak-hak pekerja profesi guru. Show all posts

Wednesday, October 8, 2008

http://www.ei-ie.org

Teacher Solidarity for the improvement of education

Education International celebrates World Teachers' Day 2008

Every day, in millions of classrooms around the world, the universal endeavour of teaching and learning takes place. The gift of literacy is passed from one generation to the next, along with love of learning and thirst for knowledge. When knowledge is shared, skills are gained and lives can be changed.

October 5 is World Teachers’ Day, a day set aside by the world community to celebrate teachers and the central role they play in nurturing and guiding infants, children, youth and adults through the life-long learning process.

* How can you celebrate World Teacher's Day?
* Say thanks to a teacher who made a difference in your life, or in your childrens' lives. Take a minute to send an e-card with your greetings and good wishes - just move your mouse over the yellow tab on the right to open up our collection of e-cards (in 8 languages!).
* Download and print this year's poster - show the world that teachers matter! Move your mouse over the green tab and look for the poster in your language.
* Share your World Teachers' Day photos with us! Move your move over the red tab and upload your photos to our Flickr photostream! Read More..

Thursday, September 18, 2008

Jurnal sd 17 September 2008



1. Tim Advokasi untuk pendidikan dasar tanpa pungutan biaya jalan terus. Laksono (LBH Pendidikan) menjadi kordinator tim advokasi ini, ditemani Noey dan Christien dari YLBI, Melda dan kawa-kawan dari LBH Mawar Sharon dan LBH Jakarta. Dua minggu ini, FGII tidak ikut dalam diskusi karena ada pengalihan jadwal. Kesepakatan pertemuan setiap hari Selasa Insya Allah akan kembali dilaksanakan pada tanggal 23 September yad.
Saat ini Tim Advokasi sudah menyusun legal draft dan mulai sosialisasikan formulir bagi para pemohon yang merupakan warganegara Indonesia yang berpotensi dan atau korban kebijakan pendidikan yang tidak membebaskan pungutan kepada rakyat.

2. Advokasi Pak Iwan Hermawan menunggu konfirmasi dari pihak yang bersangkutan. FGII akan terus menelusuri rekomendasi dari Komnas HAM dan Komisi Ombudsman sambil menunggu perkembangan kasus tersebut dari Bandung Read More..

Wacana : Suara Merdeka

WACANA

05 September 2008
Perlindungan Hukum bagi Guru

* Oleh Hery Nugroho


PADA Pasal 39 (1) Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) disebutkan, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.

Pada pasal berikutnya ditulis, perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam tulisan ini, penulis lebih menekankan pada aspek perlindungan hukum.

Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain (UUGD Pasal 39 ayat 3)
Jelaslah, guru dalam melaksanakan tugasnya mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini dikuatkan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 30 ayat 1 (d).

Menurut pengamatan penulis, perlindungan hukum terhadap guru belum dilakukan sepenuhnya. Beberapa waktu lalu, salah seorang guru yang juga sekretaris jenderal Federasi Guru Independen (FGII), Iwan Hermawan, dijatuhi sanksi disiplin oleh Wali Kota Bandung karena bersikap kritis terhadap penyelenggaraan pendidikan, termasuk dalam penyelenggaraan ujian nasional (Kompas, 29 Juli 2008).

Sebenarnya masalah ini bukan kali pertama. Sebelumnya juga dialami Kelompok Air Mata Medan dan Forum Guru Garut yang mestinya mendapatkan apreasiasi karena keberaniannya melaporkan adanya indikasi kecurangan ujian nasional. Tetapi yang diterima bukan penghargaan, melainkan sanksi berupa dikurangi jam mengajar, bahkan ada dipecat.

Meski berbeda latar belakang, namun dalam subtansi sama juga terjadi di Kudus. Seorang guru dicopot dari jabatannya gara-gara kuliah S2 di UGM (Suara Merdeka, 26 Mei 2008) Dari ketiga kasus tersebut, jelas posisi guru selalu menjadi lemah di hadapan penguasa.

Muhamad Surya (2003: 137) menggambarkan posisi guru sampai sekarang lebih banyak dituntut dan disalahkan ketimbang diberi keleluasaan untuk mewujudkan kinerja keprofesionalannya. Guru selalu dalam pihak yang lemah, tanpa memiliki keberdayaan untuk membela hak dan martabatnya.

Padahal dalam UUGD Pasal 14 ayat 1 (c) disebutkan, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual.

Jika kondisi di atas dibiarkan terus, itu akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kasus yang dialami Iwan, Kelompok Air Mata, dan Forum Guru Garut adalah bentuk pembungkaman terhadap kekritisan dan keberanian guru terhadap kondisi pendidikan di Indonesia.

Atau meminjam bahasa HAR Tilaar, sebagai bentuk domestifikasi guru dalam pendidikan. Dalam hal ini, guru dijinakkan kreativitasnya agar mematuhi kemauan tuannya. Hal senada juga diungkapkan Darmaningtyas dengan istilah marginalisasi guru.

Kekuasaan dalam Pendidikan

Menurut HAR Tilaar (2003: 88), kekuasaan dalam pendidikan bisa dibagi menjadi dua. Pertama, kekuasaan yang transformatif. Tujuannya agar dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan, tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dan subjek yang lain.

Dalam posisi ini, pemerintah menempatkan guru sebagai mitra dalam mendidik anak didiknya. Guru diberi wewenang penuh untuk mendidik peserta didik menjadi manusia mandiri.

Kedua, kekuasaan sebagai transmitif. Dalam pelaksanaan kekuasaan ini, aksi dari subjek bersifat robotik, karena sekadar menerima atau dituangkan sesuatu dalam bejana subjek yang bersangkutan. Dalam masalah ini, guru harus tunduk pada pemerintah.

Karena pemerintah sebagai pengendali kekuasaan, maka guru harus menuruti perintahnya. Apa yang diperintahkan, guru harus melaksanakan. Kalau ada guru yang menentang, maka harus siap menerima sanksi.

Pemerintah (Depdiknas) sebagai pengendali kebijakan pendidikan seharusnya memberikan rasa nyaman dan perlindungan bagi guru. Rasa nyaman dan perlindungan itu tak sekadar dalam kelas saja, tapi juga dalam mengekspresikan pendapat. Selama ini kebebasan akademik lebih diidentikkan dengan dunia kampus. Seyogyanya kebebasan akademik bukan hanya milik dosen saja, tetapi juga guru.

Dengan memberikan kebebasan akademik kepada guru, secara tak langsung akan mendorong peningkatan kualitas pendidikan nasional. Apalagi dengan tuntutan profesionalisme guru yang tidak hanya teaching oriented (berorientasi pada mengajar), tetapi harus memenuhi empat kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional).

Salah satu bentuk konkret bentuk profesionalisme, guru dituntut untuk melakukan (research) penelitian. Padahal, dalam melakukan penelitian, guru harus mempunyai sikap kritis terhadap objek yang diteliti.

Selain perlindungan hukum guru terhadap kebijakan birokrasi yang tidak adil, juga perlu perlindungan dari tindakan kekerasan yang dilakukan peserta didik. Kasus ini biasanya terjadi akibat siswa tidak naik kelas atau lulus ujian.

Pemukulan kepala SMK Muhammadiyyah 1 Bantul oleh anak didiknya (SM, 10 Juli 2008) bisa menjadi pelajaran bersama. Selain itu, kekerasan terhadap guru juga bisa dilakukan orang tua murid yang tak terima anaknya tidak naik kelas atau tidak lulus ujian.

Komitmen Pemerintah

Melihat kenyataan di atas, jelas perlindungan hukum terhadap guru sangat penting. Dasar hukumnya sudah ada, tinggal bagaimana implementasinya.
Bahkan guru yang kritis juga dilindungi dalam UUD 1945 Pasal 28E (3): ’’Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat’’. Dikuatkan lagi dalam UUGD, di mana guru mempunyai hak untuk memiliki kesempatan berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan (Pasal 14 ayat 1 [i]).

Selama ini guru hanya ditempatkan sebagai objek kebijakan penguasa. Contohnya dalam buku sekolah elektronik, guru hanya ditempatkan sebagai user (pengguna), sehingga selamanya guru akan selalu terninabobokan dengan sistem yang ada. Seharusnya guru diperdayakan untuk dapat membuat modul pembelajaran dengan baik.

Ke depan, guru mesti ditempatkan sebagai mitra, bukan sebagai ancaman. Sebaik apapun konsep pendidikan, kalau tidak melibatkan guru, maka konsep itu tidak akan berhasil. Guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan nasional. Karenanya, sebelum pemerintah mengerluarkan kebijakan yang terkait dengan pendidikan, semestinya guru dilibatkan.

Pendapat guru yang disampaikan secara langsung maupun melalui media adalah salah satu bentuk kontribusi pemikiran untuk meningkatan kualitas pendidikan. Jangan sampai dengan dalih melanggar aturan, guru dengan mudah diberi sanksi, tanpa ada pembelaan.

Memang, dalam UUGD Pasal 42 (b) disebutkan, organisasi profesi guru memiliki kewenangan memberi bantuan hukum kepada guru. Namun, ketika masalah yang dihadapi guru berhadapan dengan penguasa, seringkali bantuan hukum terpental seperti dialami Iwan Hermawan, Kelompok Air Mata Medan, Forum Guru Garut, dan pencopotan guru di Kudus.

Menurut penulis, hal terpenting di sini adalah komitmen pemerintah menempatkan guru sebagai profesi dalam arti sesunggunya, sebagaimana diamanatkan dalam UUGD. Salah satu prinsipnya adalah memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Selain itu, ketika ada penyelesaian masalah yang berhubungan dengan guru, maka dasar pengambilan keputusan adalah UUGD. (32)

—Hery Nugroho, direktur Centre for Education Studies (CES) Jawa Tengah, alumni Heartland International USA. Read More..

Advokasi Guru Garut

Tunjangan Fungsional Belum Dibayarkan
Dana Pemerintah Tidak Mencukupi
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN / Kompas Images
Ratusan guru di Kabupaten Garut berunjuk rasa di DPRD Kabupaten Garut, Jawa Barat, Senin (15/9). Mereka menuntut Pemkab Garut membayarkan tunjangan fungsional yang belum dibayarkan selama 13 bulan sebelum Lebaran. Akhirnya, Pemkab Garut meminjam uang dari Bank Jabar untuk membayar tunjangan fungsional para guru.
Selasa, 16 September 2008 | 03:00 WIB

Garut, Kompas - Sekitar 500 guru di Kabupaten Garut, Jawa Barat, berunjuk rasa ke DPRD Garut, Senin (15/9). Mereka menuntut Pemerintah Kabupaten Garut membayarkan tunjangan fungsional selama 13 bulan yang belum dibayarkan sebelum Lebaran. Jika tidak punya dana, pemkab bisa meminjam kepada Bank Jabar.

Para guru datang menggunakan puluhan sepeda motor dan mobil. Mereka membawa sejumlah karton berisi pernyataan sikap saat bertemu dengan pimpinan DPRD.

Guru dari SDN Regol 9, Neni R, mengatakan, tunjangan fungsional sebanyak 16 bulan seharusnya dibayar pemkab secara rapel, yakni sejak Januari 2007. Besarnya Rp 100.000 per bulan atau total Rp 1.600.000 per guru.

”Tahun ajaran baru kemarin kami baru menerima Rp 300.000. Menurut Dinas Pendidikan, sisanya akan dibayarkan sebelum Lebaran dari APBD Perubahan. Namun, beredar informasi yang akan dibayarkan Rp 300.000, bukan Rp 1,3 juta,” kata Neni. Para guru berharap Pemkab Garut menepati janji.

Dana tidak cukup

Ketua DPRD Kabupaten Garut Dedi Suryadi beralasan, pemberitahuan kenaikan tunjangan fungsional diterima Pemkab Garut pada Februari 2008. Padahal, APBD Garut ditetapkan pada Desember 2007. Akibatnya, alokasi untuk membayar rapel tunjangan fungsional sejak Januari 2007 belum dapat direalisasikan.

”Kebutuhan untuk pembayaran tunjangan fungsional tahun 2007 dan 2008 besarnya Rp 16 miliar. Pemerintah pusat memberikan dana Rp 16 miliar untuk dua tahun. Namun, pemkab baru menerima Rp 1 miliar. Itu sebabnya, tunjangan fungsional belum bisa diberikan seluruhnya,” kata Dedi.

Sekretaris Daerah Kabupaten Garut Wowo Wibowo menyatakan, Pemkab Garut belum punya jalan keluar apabila guru menuntut seluruh tunjangan fungsional dibayarkan sekaligus.

Ketua Serikat Guru Indonesia Kabupaten Garut Imam Taufik menilai Pemkab Garut tidak mampu mengelola keuangan daerah. Buktinya, pemkab tidak bisa melakukan ketika ada kewajiban membayar rapel tunjangan fungsional.

”Seharusnya pemkab antisipatif dan memiliki rasa kepedulian terhadap guru. Kapabilitas pemerintah daerah dipertanyakan jika tidak bisa membayar tunjangan fungsional guru,” kata Imam.

Setelah negosiasi antara perwakilan guru, panitia anggaran DPRD, dan panitia anggaran eksekutif dengan mengundang pimpinan Bank Jabar Garut, akhirnya disepakati Pemkab Garut akan meminjam uang Rp 20 miliar dari Bank Jabar. Sebanyak Rp 15 miliar digunakan menutupi kekurangan tunjangan fungsional guru. Sisanya untuk tunjangan kepala desa dan pembayaran klaim dari rumah sakit untuk pengobatan keluarga miskin. (ADH) Read More..