Monday, January 11, 2010

FOCUS GROUP DISCUSSION FGII-KOMNAS HAM



FGD SISTEM PENDIDIKAN BERBASIS HAK ASASI MANUSIA > FGD yang diselengarakan atas kerjasama DPP FGII - Komnas HAM diikuti oleh 15 peserta dari beragam lembaga/organisasi: Elin Driana (Education Forum (eF)/Dosen PTS); Akhmad Leksono, SH. (Lembaga Bantuan Hukum Pendidikan/LBHP); Rusmarni Rusli (Komite Advokai Penyandang Cacat Indonesia/Kapci); Widji Sri Rahayu (Solidaritas Perempuan); Aan (Front Mahasiswa Nasional); Ester Lince (Pemerhati Pendidikan); Merlyn (Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal/Lapam); Iwan Hermawan (Koalisi Pendidikan Kota Bandung/KPKB); Virgo (PP Ikatan Pelajar Muhamadyah /IPM); Haris Winarto (SP Lembaga Indonesia Amerika Teacher Assosiation/SP-LIATA); Fildzah Izzati (Mahasiswa Fisip UI/PRP) Teguh Slamet Wahyudi (DPC FGII Depok), Nurafiatin (DPDFGII Jabar), Luthfi (Forum Pelajar Jabar), Ahmad Basori (PB Pejarar Islam Indonesia/PII)


FGD DPP FGII - Komnas HAM dimulai dengan narasumber pemantik Mas Darmaningtyas (Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa, Penulis Buku Pendidikan Rusak-Rusakan, Menggugat UU BHP dan sejumlah kritik terhadap pendidikan yang tertuang dalam sejumlah buku) yang mengantarkan diskusi dengan membawakan sebuah makalah berjudul “Mengapa Saya Menolak UN?”. Singkatnya ada sembilan alasan yang dikemukakan mas Tyas:

1. UN merupakan cermin berfikir dan bertindak tidak logis dan pemaksaan kehendak kepada murid ;
2. UN sebagai penentu kelulusan itu melanggar UU Sisdiknas. Pasal 58 menyatakan: bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan;
3. Ketidak-konsistenan antara kurikulum dengan model evaluasi belajarnya. Pada tahun 2004 pemerintah ceq Departemen Pendidikan Nasional memperkenalkan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang kemudian diubah (2006) menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Logisnya, kalau kurikulumnya KBK ataupun KTSP, maka evaluasinya ya pada tingkat sekolah, bukan nasional. Bila kurikulumnya KTSP tapi evaluasi belajarnya pakai UN, ibaratnya kurikulumnya berjalan ke selatan, evaluasi belajarnya berjalan ke utara. Logisnya, tidak pernah akan ketemu, kalau dipaksakan bertemu, maka pasti ada yang dikorbankan;
4. Ketidak-logisan secara substansi. Dua materi yang di UN-kan untuk SMP – SMTA adalah Bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagai bahasa keduanya itu berfungsi untuk alat komunikasi, tapi ujiannya obyektif. Kalau mau menguji kompetensi berkomunikasi, maka mestinya ujiannya praktek, karena melalui prakteklah kemampuan berbahasa seseorang dapat teruji. Kalau obyektif jelas tidak akan mampu mengukur kemampuan berkomunikasi seseorang karena prakteknya dalam berkomunikasi lisan, kaidah-kaidah bahasa resmi sering terlanggar, yang penting komunikasinya dapat dipahami oleh lawan bicara;
5. Tidak adil dan diskriminatif. Indonesia ini beragam dari aspek geografis, alam, ekonomis, infrastruktur, status sosial, budaya. Tapi keragaman yang sangat kompleks itu diukur dengan cara yang sama (tunggal), yaitu nilai batas minimum kelulusan;
6. ketidak-jelasan fungsi UN, terutama untuk UN SD/MI/SDLB dan SMA/SMK/MA, karena SD – SMP mestinya satu proses penjenjangan yang berlanjut sebagai satu paket pendidikan dasar yang harus terpenuhi
7. pelaksanaan UN di tingkat SMTA, terutama bagi murid SMA/MA, tidak memperhitungkan beban psikologi anak, akibat keegoan masing-masing instansi.
8. UN sebetulnya menghilangkan kredibilitas guru karena digantikan oleh bimbingan tes. Wajar bila ada usulan bubarkan sekolah dan ganti dengan Bimbel.
9. UN ini sama sekali mengabaikan hak-hak pendidikan bagi kaum difable karena ukuran kelulusannya adalah tunggal menurut standar orang yang tidak mengalami hambatan fisik.

FGD dipandu sangat apik oleh Dan Satriana (Direktur Lembaga Advokasi Pendidikan/LAP Kota Bandung) yang mendorong setiap peserta saling berkomunikasi secara terbuka untuk membedah persoalan pendidikan dari kaca mata HAM. Sejumlah persoalan yang mengemuka dalam FGD antara lain :

 Masalah ketersediaan pelayanan
 Belum terpenuhinya SPM
 Kesenjangan pemenuhan sarana prasarana
 Kualifikasi, Kompetensi, dan Kesejahteraan tenaga pendidikan tidak memadai.
 Akses informasi yang tidak tersedia secara merata
 Kemudahan untuk penyelenggaraan pendidikan.
 Hambatan akibat syarat administrasi spt. akte kelahiran,
 Seleksi masuk sekolah terutama pendidikan dasar;
 Masalah Standardisasi Sekolah yang berujung pada diskriminasi (SBI, RSBI,SSN, SKM)
 Sekolah-sekolah bagi anak berkebutuhan khusus masih terbatas
 Tindakan afirmatif bagi kelompok perempuan.
 Akses perguruan berpihak pada yang kaya
 Kurikulum: Tidak meng-akomodir kebutuhan dan kekhasan
 Metode : Masih mengabaikan hak anak
 Masih Munculnya Kekerasan di lingkungan pendidikan
 Warga belajar/ anak tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan pendidikan
 Pendidikan masih berpusat pada guru dan kekuasaan.

Solusi yang disampaikan peserta FGD secara kelembagaan dan sosial budaya antara lain :
• Diskusi publik mengenai UU BHP
• Diskusi dengan sekolah terkait korban UN sebagai basis fakta untuk advokasi
• Penghapusan syarat-syarat penerimaan siswa baru di kota/ kabupaten yang memberatkan. Kaitkan dengan hak kewarganegaraan anak. Termasuk seleksi akademik.
• Pilihan bagi anak kebutuhan khusus untuk mengakses sekolah inklusi.
Kewajiban sekolah menjadi sekolah inklusi.
• Pengembangan program yang memungkinkan kerjasama semua pihak
• Membuat kurikulum multiklutur anak
• Penghapusan pekerja anak
• Peningkatan profesionalisme guru melalui peningkatan kesejahteraan dan perbaikan kondisi kerja (hak dasar dan pengembangan kapasitas)
• Sosialisasi UU Perlindungan Anak bagi guru dan warga belajar
• Memperluas dorongan untuk eksekusi putusan MA soal UN
• Pendidikan berbasis keluarga (alternatif untuk anak dengan kebutuhan dan kondisi khusus).

Disadari bahwa FGD ini sebagai awal untuk semakin mendalami sejumlah persoalan pendidikan lainnya maka peserta mengusulkan sejumlah rencana tindak alnjut :
• Menyelesaikan persoalan perbedaan pandangan mengenai UN;
• Menyusun pemetaan masalah dan indikator HAM dalam kebijakan pendidikan dengan mengacu pada sejumlah instrumen HAM;
• Pertemuan lebih luas untuk sosialisasi dan persiapan advokasi dan kampanye;
• Pertemuan dengan Mendiknas dan Komisi X DPR RI (UN dan UU BHP)
• Melakukan gerakan kultural dalam bentuk kampanye pelanggaran HAM dalam kebijakan UN, UU BHP dan kebijakan pendidikan lainnnya;

Semua peserta bersepakat :
1. Menjadikan Problem HAM dalam kebijakan Ujian Nasional dan UU BHP sebagai pintu masuk untuk membedah persoalan pendidikan lainnya;
2. Gerakan perbaikan pendidikan tidak hanya berhenti di ruang diskusi (dari forum ke forum) tetapi terus maju dalam aksi nyata meskipun akan menghadapi banyak hambatan;
3. Membangun jaringan seluas-luasnya karena gerakan perbaikan pendidikan bukan hanya ranah komunitas pendidikan tetapi harus menjadi gerakan semua masyarakat.



No comments: