Monday, October 6, 2008

Kompas cetak 5 okt 2008

Teacher Solidarity for the improvement of education

Pendidikan Nonformal
PLS Mampu Memberdayakan Masyarakat
Senin, 6 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU

Nelayan Pulau Kodingareng tak lagi perlu bersusah payah ke Kota Makassar sekadar untuk memperbaiki as mesin perahu bermotor yang patah. Sejak dua tahun lalu, mengelas atau memperbaiki mesin perahu bermotor yang ”rewel” sudah bisa dilakukan sejumlah pemuda di salah satu pulau di Selat Makassar, Sulawesi Selatan, tersebut.

Berkat pelatihan mengelas dan memperbaiki mesin perahu bermotor yang dilaksanakan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Biring Kanaya bekerja sama dengan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Pulau Kodingareng, sebanyak 40 pemuda sudah bisa meringankan beban nelayan untuk menghemat biaya perbaikan mesin perahu. Sebelumnya, untuk mengelas saja, para nelayan butuh waktu minimal dua hari ke Kota Makassar akibat transportasi laut yang beroperasi satu kali sehari.

Perubahan sederhana dalam kehidupan warga Pulau Kodingareng yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan itu hanyalah salah satu contoh dampak positif dari PLS (sekarang diganti pendidikan nonformal dan informal).

Ketika pemerintah menaruh perhatian pada peran lembaga pendidikan nonformal semisal SKB atau PKBM sebagai mitra pemberdayaan masyarakat, perubahan ke arah yang lebih baik perlahan tetapi pasti terjadi.

Sampara Syarif, Ketua PKBM Pulau PLS Kodingareng, mengatakan, masyarakat di sini sulit jika dipaksakan hanya ikut pendidikan formal. Lulus SD, anak laki-laki langsung jadi nelayan untuk membantu ekonomi keluarga. Sebaliknya, pendidikan tidak dianggap penting bagi anak perempuan.

Selain itu, sarana pendidikan yang ada di pulau ini sangat terbatas, hanya sampai SMP. Sebanyak 611 anak SD dilayani dua sekolah yang menggunakan gedung secara bergantian.

”Dengan kondisi seperti itu, pendidikan di luar sekolah seperti PKBM lebih tepat. PKBM harus bisa membuat program- program unggul sehingga masyarakat setempat jadi tertarik untuk belajar,” kata Sampara.

Fleksibel

Hampir tiga tahun PKBM Pulau PLS Kodingareng yang didukung Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional V Makassar mengintensifkan layanan pendidikan dan pemberdayaan bagi warga usia dini hingga lanjut usia di wilayah ini.

Beragam layanan pendidikan disambut antusias karena penyelenggaraannya fleksibel dan sesuai kebutuhan warga.

Warga buta aksara berusia 15 tahun ke atas, misalnya, semuanya sudah selesai menjalani pemberantasan buta aksara tingkat dasar. Warga belajar yang umumnya perempuan itu dibekali keterampilan membuat kerupuk dan abon ikan supaya dapat mandiri.

Sekitar 100 anak usia 3-6 tahun yang selama ini dibiarkan bebas bermain di pinggir laut mulai diberikan layanan pendidikan anak usia dini (PAUD). Anak-anak di masa usia emas ini bermain sambil belajar di teras balai pertemuan warga.

Sementara itu, anak-anak putus sekolah bisa mengikuti Paket A, B, dan C (setara SD, SMP, dan SMA). Dengan jam belajar yang fleksibel dan bekal kecakapan hidup, mereka bisa mendapatkan ijazah setara pendidikan formal yang bisa dipakai untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau untuk bekerja.

Darminah, pendiri PKBM Shandyka di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, mengatakan, banyak anak putus sekolah dan warga berusia produktif yang butuh diberdayakan. Dengan pendekatan pendidikan nonformal, mereka lebih mudah dijangkau karena materi ajar bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi warga yang dilayani.

PKBM Shandyka yang berdiri tahun 2002 ini melayani warga tidak mampu yang ingin belajar dan mengembangkan diri. ”Mereka juga punya hak untuk bisa maju dan berkembang,” ujar Darminah.

Sinergikan

Pendidikan nonformal bersifat luwes berkenaan dengan waktu dan lama belajar, usia peserta didik, isi pelajaran, cara penyelenggaraan pengajaran, dan cara penilaian hasil belajar.

Sasarannya sangat besar dan multisegmen, dari dini usia sampai usia lanjut, dari putus sekolah sampai mereka yang berkeinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan praktis, serta kecakapan untuk bekerja dan memperoleh penghasilan.

”Penguatan pendidikan nonformal ini untuk memberdayakan masyarakat. Pulau PLS ini akan terus dikembangkan. Selain itu, disediakan kapal kunjung untuk bisa memantau kualitas pendidikan luar sekolah yang diberikan supaya sesuai dengan potensi lokal yang ada di sana,” kata Kepala BPPNFI Regional V Makassar Djajeng Baskoro.

Sinergi antara pendidikan formal dengan pendidikan nonformal dan informal diakui sangat penting. Namun, yang terjadi di lapangan, pada pasca-otonomi daerah dengan UU Otonomi Daerah tentang Pemerintahan Daerah, status kelembagaan pelaksana pendidikan nonformal di beberapa daerah tidak mendapat perhatian memadai.

Lembaga pendidikan nonformal ada yang digabung dengan lembaga lain, bahkan dilikuidasi karena dianggap tidak diperlukan. Selain itu, dukungan dana dari APBD juga minim.

Ketidakberpihakan pada pendidikan nonformal juga terjadi di tingkat pusat. Pemotongan anggaran Departemen Pendidikan Nasional yang mencapai Rp 4,9 triliun pada tahun ini, termasuk mengorbankan anggaran untuk pendidikan nonformal yang cukup penting.

Anggaran program pemberantasan buta aksara dipangkas Rp 100 miliar, padahal masih ada 10,1 juta penduduk buta aksara.

Pengadaan taman bacaan masyarakat untuk mendorong minta baca dan memberdayakan warga di daerah pedesaan senilai Rp 49 miliar ditiadakan. Demikian juga bantuan untuk Paket A, B, dan C dikurangi sebesar 10 persen dari yang direncanakan.

”Harus ada keterpaduan antara pendidikan formal dan nonformal untuk memberikan layanan pendidikan gratis dan bermutu bagi semua lapisan masyarakat, terutama yang masuk usia wajib belajar.

Peningkatan kualitas layanan pendidikan luar sekolah juga harus diprioritaskan dan didukung dengan anggaran dan kebijakan yang baik,” kata Ferdiansyah, anggota Komisi X DPR.

Hamid Muhammad, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan bahwa pendidikan nonformal dan informal juga menjadi prioritas dalam sistem pendidikan nasional.

Keberadaan pendidikan formal dan nonformal haruslah saling melengkapi untuk mendukung belajar sepanjang hayat.

Penguatan pendidikan nonformal dan informal ini diharapkan terus berlanjut. Di luar sana ada satu juta lebih siswa SD dan SMP yang putus sekolah setiap tahun, baru 48 persen dari 28 juta anak usia 0-6 tahun yang terlayani PAUD, dan 10 juta penganggur.

Mereka perlu diberdayakan dengan pendidikan dan kecakapan hidup supaya bisa hidup mandiri. Di antaranya bisa melalui PLS. (ELN)

No comments: