Teacher Solidarity for the improvement of education
Berpisah demi Sekolah
Kesedihan tak tampak lagi di wajah Saidah. Senyum terus mengembang di bibir gadis 15 tahun ini. Padahal ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Pondok Pesantren Hidayatullah, Nunukan, Kalimantan Timur, ia kerap menangis dan jarang bicara.
"Selain terkendala bahasa, mungkin sedih berpisah dengan keluarganya," kata Farida Ahmad, guru di Pesantren Hidayatullah, kepada Tempo pada pertengahan September lalu. Ayah Saidah asal Flores, Yunus Muhammad, dan ibunya, Lina Tampa, yang kelahiran Bugis, sudah hampir 20 tahun mengadu nasib sebagai buruh ladang kepala sawit di Sabah, Malaysia.
Meski berat, Saidah memutuskan kembali ke Indonesia. Dia pun tinggal di asrama pesantren. "Di sana (Sabah) sekolahnya tak dapat ijazah," kata gadis berkerudung ini. Jangan pikir Saidah cuma asal sekolah, walau harus mengulang mata pelajaran melalui program belajar Paket A setara sekolah dasar ia punya cita-cita yang tinggi. "Jadi guru bahasa Inggris atau ahli teknologi informasi dan komunikasi," ujarnya.
Selain Saidah masih ada 100 anak tenaga kerja Indonesia di pesantren tersebut. Jika anak TKI yang beragama Islam sekolah di pesantren, anak TKI yang beragama Katolik ditampung di Yayasan Sekolah Mgr. Gabriel Maniek SVD. Di yayasan ini juga disediakan asrama untuk TKI yang tak punya kerabat di Nunukan.
Kepala Sekolah Mgr. Gabriel Maniek SVD, Suster Silvia PRR, mengungkapkan sekolah seluas 7.000 meter persegi ini dibangun pada 1997. Sekolah ini memiliki siswa sekolah dasar 247 orang, siswa sekolah menengah pertama 123 orang, dan siswa sekolah menengah atas 64 orang, dengan jumlah guru hanya 29 orang.
"Meskipun kami menetapkan uang sekolah sebesar Rp 180 ribu per bulan untuk makan dan sekolah, orang tuanya belum tentu membayar,” ujar Silvia. “Selain jauh, kesempatan untuk pulang-pergi Malaysia sangat kecil, apalagi kebanyakan orang tua siswa adalah TKI tanpa dokumen lengkap.”
Selama ini, anak-anak TKI hanya mendapatkan akses pendidikan melalui pengiriman guru kontrak oleh pemerintah Indonesia ke Malaysia. Pasalnya, peraturan di Malaysia menyebutkan sekolah kerajaan tidak boleh menerima siswa Indonesia tanpa akta kelahiran dan kartu tanda penduduk.
Pengiriman guru kloter pertama sejumlah 51 orang dilakukan pada September 2006 dengan masa kontrak dua tahun. Pada tahun berikutnya dikirim lagi 58 guru. Mereka mengajar sekitar 3.300 anak dari perkiraan 36 ribu anak yang tidak mendapat pendidikan.
Pemerintah bekerja sama dengan lembaga swadaya Humana. REH ATEMALEM SUSANTI
Monday, October 6, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
 
 
 
No comments:
Post a Comment