WACANA
05 September 2008
Perlindungan Hukum bagi Guru
* Oleh Hery Nugroho
PADA Pasal 39 (1) Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) disebutkan, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
Pada pasal berikutnya ditulis, perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam tulisan ini, penulis lebih menekankan pada aspek perlindungan hukum.
Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain (UUGD Pasal 39 ayat 3)
Jelaslah, guru dalam melaksanakan tugasnya mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini dikuatkan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 Pasal 30 ayat 1 (d).
Menurut pengamatan penulis, perlindungan hukum terhadap guru belum dilakukan sepenuhnya. Beberapa waktu lalu, salah seorang guru yang juga sekretaris jenderal Federasi Guru Independen (FGII), Iwan Hermawan, dijatuhi sanksi disiplin oleh Wali Kota Bandung karena bersikap kritis terhadap penyelenggaraan pendidikan, termasuk dalam penyelenggaraan ujian nasional (Kompas, 29 Juli 2008).
Sebenarnya masalah ini bukan kali pertama. Sebelumnya juga dialami Kelompok Air Mata Medan dan Forum Guru Garut yang mestinya mendapatkan apreasiasi karena keberaniannya melaporkan adanya indikasi kecurangan ujian nasional. Tetapi yang diterima bukan penghargaan, melainkan sanksi berupa dikurangi jam mengajar, bahkan ada dipecat.
Meski berbeda latar belakang, namun dalam subtansi sama juga terjadi di Kudus. Seorang guru dicopot dari jabatannya gara-gara kuliah S2 di UGM (Suara Merdeka, 26 Mei 2008) Dari ketiga kasus tersebut, jelas posisi guru selalu menjadi lemah di hadapan penguasa.
Muhamad Surya (2003: 137) menggambarkan posisi guru sampai sekarang lebih banyak dituntut dan disalahkan ketimbang diberi keleluasaan untuk mewujudkan kinerja keprofesionalannya. Guru selalu dalam pihak yang lemah, tanpa memiliki keberdayaan untuk membela hak dan martabatnya.
Padahal dalam UUGD Pasal 14 ayat 1 (c) disebutkan, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual.
Jika kondisi di atas dibiarkan terus, itu akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kasus yang dialami Iwan, Kelompok Air Mata, dan Forum Guru Garut adalah bentuk pembungkaman terhadap kekritisan dan keberanian guru terhadap kondisi pendidikan di Indonesia.
Atau meminjam bahasa HAR Tilaar, sebagai bentuk domestifikasi guru dalam pendidikan. Dalam hal ini, guru dijinakkan kreativitasnya agar mematuhi kemauan tuannya. Hal senada juga diungkapkan Darmaningtyas dengan istilah marginalisasi guru.
Kekuasaan dalam Pendidikan
Menurut HAR Tilaar (2003: 88), kekuasaan dalam pendidikan bisa dibagi menjadi dua. Pertama, kekuasaan yang transformatif. Tujuannya agar dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan, tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dan subjek yang lain.
Dalam posisi ini, pemerintah menempatkan guru sebagai mitra dalam mendidik anak didiknya. Guru diberi wewenang penuh untuk mendidik peserta didik menjadi manusia mandiri.
Kedua, kekuasaan sebagai transmitif. Dalam pelaksanaan kekuasaan ini, aksi dari subjek bersifat robotik, karena sekadar menerima atau dituangkan sesuatu dalam bejana subjek yang bersangkutan. Dalam masalah ini, guru harus tunduk pada pemerintah.
Karena pemerintah sebagai pengendali kekuasaan, maka guru harus menuruti perintahnya. Apa yang diperintahkan, guru harus melaksanakan. Kalau ada guru yang menentang, maka harus siap menerima sanksi.
Pemerintah (Depdiknas) sebagai pengendali kebijakan pendidikan seharusnya memberikan rasa nyaman dan perlindungan bagi guru. Rasa nyaman dan perlindungan itu tak sekadar dalam kelas saja, tapi juga dalam mengekspresikan pendapat. Selama ini kebebasan akademik lebih diidentikkan dengan dunia kampus. Seyogyanya kebebasan akademik bukan hanya milik dosen saja, tetapi juga guru.
Dengan memberikan kebebasan akademik kepada guru, secara tak langsung akan mendorong peningkatan kualitas pendidikan nasional. Apalagi dengan tuntutan profesionalisme guru yang tidak hanya teaching oriented (berorientasi pada mengajar), tetapi harus memenuhi empat kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional).
Salah satu bentuk konkret bentuk profesionalisme, guru dituntut untuk melakukan (research) penelitian. Padahal, dalam melakukan penelitian, guru harus mempunyai sikap kritis terhadap objek yang diteliti.
Selain perlindungan hukum guru terhadap kebijakan birokrasi yang tidak adil, juga perlu perlindungan dari tindakan kekerasan yang dilakukan peserta didik. Kasus ini biasanya terjadi akibat siswa tidak naik kelas atau lulus ujian.
Pemukulan kepala SMK Muhammadiyyah 1 Bantul oleh anak didiknya (SM, 10 Juli 2008) bisa menjadi pelajaran bersama. Selain itu, kekerasan terhadap guru juga bisa dilakukan orang tua murid yang tak terima anaknya tidak naik kelas atau tidak lulus ujian.
Komitmen Pemerintah
Melihat kenyataan di atas, jelas perlindungan hukum terhadap guru sangat penting. Dasar hukumnya sudah ada, tinggal bagaimana implementasinya.
Bahkan guru yang kritis juga dilindungi dalam UUD 1945 Pasal 28E (3): ’’Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat’’. Dikuatkan lagi dalam UUGD, di mana guru mempunyai hak untuk memiliki kesempatan berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan (Pasal 14 ayat 1 [i]).
Selama ini guru hanya ditempatkan sebagai objek kebijakan penguasa. Contohnya dalam buku sekolah elektronik, guru hanya ditempatkan sebagai user (pengguna), sehingga selamanya guru akan selalu terninabobokan dengan sistem yang ada. Seharusnya guru diperdayakan untuk dapat membuat modul pembelajaran dengan baik.
Ke depan, guru mesti ditempatkan sebagai mitra, bukan sebagai ancaman. Sebaik apapun konsep pendidikan, kalau tidak melibatkan guru, maka konsep itu tidak akan berhasil. Guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan nasional. Karenanya, sebelum pemerintah mengerluarkan kebijakan yang terkait dengan pendidikan, semestinya guru dilibatkan.
Pendapat guru yang disampaikan secara langsung maupun melalui media adalah salah satu bentuk kontribusi pemikiran untuk meningkatan kualitas pendidikan. Jangan sampai dengan dalih melanggar aturan, guru dengan mudah diberi sanksi, tanpa ada pembelaan.
Memang, dalam UUGD Pasal 42 (b) disebutkan, organisasi profesi guru memiliki kewenangan memberi bantuan hukum kepada guru. Namun, ketika masalah yang dihadapi guru berhadapan dengan penguasa, seringkali bantuan hukum terpental seperti dialami Iwan Hermawan, Kelompok Air Mata Medan, Forum Guru Garut, dan pencopotan guru di Kudus.
Menurut penulis, hal terpenting di sini adalah komitmen pemerintah menempatkan guru sebagai profesi dalam arti sesunggunya, sebagaimana diamanatkan dalam UUGD. Salah satu prinsipnya adalah memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Selain itu, ketika ada penyelesaian masalah yang berhubungan dengan guru, maka dasar pengambilan keputusan adalah UUGD. (32)
—Hery Nugroho, direktur Centre for Education Studies (CES) Jawa Tengah, alumni Heartland International USA.
Thursday, September 18, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment