Sabtu, 09 Agustus 2008
Kelabunya etika profesi guru
SIANG itu, 6 Agustus 2008, sekitar seratus guru bantu berbondong-bondong mendatangi gedung DPRD DKI Jakarta. Sebagian guru perempuan memasak oncom di pintu masuk bangunan wakil rakyat itu. Para guru sedang beraksi mempertanyakan honorarium yang telah berbulan-bulan tidak mereka terima. Demonstrasi itu adalah tindakan yang masuk akal. Sebab, sejak 2005, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berjanji membentuk panitia khusus pengangkatan guru honorer menjadi pegawai negeri sipil. Namun, hasilnya adalah nihil.
Peristiwa unjuk rasa guru honorer di Jakarta itu tentulah bukan gejala baru. Di Jawa Tengah demonstrasi yang menggugat persoalan serupa juga pernah dilakukan. Bahkan, dapat dikatakan fenomena penderitaan guru honorer merupakan persoalan yang berskala nasional. Data menunjukkan ada sebanyak 350 ribu guru bantu dan 920 ribu tenaga honorer di seluruh Indonesia. Pemerintah hanya bungkam seraya terus menuntut guru bekerja secara maksimal. Itulah ironisme profesi yang dialami guru.
Bukan hanya problem ekonomi yang merundung para guru. Mengungkapkan kecurangan adalah tindakan yang juga terlarang bagi guru. Sekalipun kecurangan merajalela sehingga menjadikan pendidikan berada pada pinggir jurang kehancuran moral, sebaiknya guru diam saja. Bukankah kecurangan yang dijalankan berulangulang justru menjadi kebenaran? Melawan dan menyingkap tindakan curang senilai menentang kebenaran. Hukuman harus diberikan bagi guru penentang arus itu.
Betapa kelabunya etika profesi yang harus dijalani guru. Berbuat jujur justru hancur. Bersikap kritis menuai sikap sinis. Membuka kecurangan malah mendapat sanksi. Kenyataan itu terjadi pada Iwan Hermawan, aktivis guru yang juga Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII). Sanksi diberikan bagi Iwan berupa penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun. Iwan dianggap memberi komentar di media massa yang dinilai meresahkan siswa dan mengesankan kegagalan pelaksanaan Ujian Nasional atau UN (Kompas, 29 Juli 2008).
Iwan bukanlah satu-satunya guru yang dihukum karena berani bersikap kritis terhadap pendidikan, terutama pelaksanaan UN. Pada 2007, Komunitas Air Mata Guru (KAMG) mengungkap kecurangan yang dijalankan para guru lain. Tragisnya, pengungkapan skandal pendidikan itu tidak membuahkan pujian, apalagi penghargaan setimpal. Keberanian KAMG menyingkap dugaan kecurangan yang terjadi sistematis pada pelaksanaan UN 2007 di Medan dan wilayah Sumatera Utara lainnya justru memerosokkan nasib mereka. Sebanyak 12 guru diberhentikan yayasan tanpa diberi pesangon, dua guru diberhentikan dan terancam tidak diterima menjadi guru oleh sekolah lain, serta 13 guru lainnya dikurangi jam mengajarnya.
Apa yang terjadi pada Iwan Hermawan dan KAMG adalah gejala puncak gunung es belaka. Sebab, pasti banyak guru yang ingin bertindak mulia justru dipandang sebagai berbuat nista.
Mengedepankan keutamaan
Lantas, apa artinya profesi guru? Sering dikatakan dalam bahasa Jawa, guru bermakna digugu lan ditiru (dipercayai dan diikuti). Itu dapat terjadi karena selain berpengetahuan, guru diidentikkan sebagai figur yang mengedepankan keutamaan, seperti keberanian dan kejujuran. Dalam bahasa Sanskerta, guru berasal dari dua kata, yakni gu yang bermakna kegelapan dan ru yang berarti cahaya. Guru adalah pengajar yang menampilkan cahaya pengetahuan untuk menghancurkan segala jenis kegelapan.
Cahaya pengetahuan guru tidak hanya dapat disebarkan bagi murid-muridnya untuk menumbuhkan kesadaran pemikiran (kognitif). Cahaya pengetahuan itu bisa dipraktikkan dalam sikap (afektif) dan tindakan (konatif) guru sendiri dalam melawan kegelapan. Bukan hanya kebodohan yang dapat dimasukkan sebagai kegelapan. Kecurangan dan segala rupa kesewenang- wenangan sesama guru dan pejabat negara adalah kegelapan moralitas.
Ketika cahaya pengetahuan guru dinyalakan, namun dipadamkan oleh pemberian hukuman, bukankah keutamaan dibalas penindasan? Muncul dan mapannya kegelapan moralitas menunjukkan tatanan sosial yang diberlakukan masyarakat itu sendiri. Tatanan sosial berisi sistem, hubungan-hubungan dan kebiasaankebiasaan yang diwariskan secara begitu saja. Tatanan sosial dianggap sebagai perangkat-perangkat normatif untuk memenuhi tugas dan kewajiban sosial. Sampai pada titik puncaknya, tatanan sosial menciptakan ketertiban bagi masyarakat.
Tapi, tatanan sosial tidak selalu memuat nilai-nilai keutamaan. Tatanan sosial cenderung menempatkan individu-individu yang berperilaku baik sebagai sekelompok orang yang menunjukkan aksi abnormal. Tatanan sosial pada akhirnya menciptakan subjek-subjek sosial sebagai orang-orang yang harus ikut moralitas gerombolan. Keseragaman perbuatan menjadi parameter yang diunggulkan. Setiap kali ada subjek yang berani bertindak untuk menentang keseragaman, risiko sebagai pelaku tindakan penyimpangan harus diterima. Bentuknya dari sanksi yang tidak wajar, hukuman yang merendahkan martabat, hingga stigmatisasi yang sangat menghinakan.
Fenomena itulah yang menimpa para guru yang menunjukkan keberanian dan kejujuran. Tatanan sosial yang melingkupi kehidupan mereka diwarnai ketidakjujuran dan keculasan. Kejadian yang menyesakkan nurani dan menghadirkan duka itu justru berlangsung dalam dunia pendidikan yang mengutamakan kejujuran dan keberanian. Para guru yang dihukum itu berupaya keluar dari moralitas gerombolan yang makin meruntuhkan pendidikan, yakni ketidakjujuran maupun kecurangan.
Menghadapi kebuntuan
Kalangan pembela dan mayoritas subjek sosial yang lain boleh saja berdalih, misalnya kecurangan itu dimaksudkan untuk mencapai target kelulusan bagi siswa-siswa peserta UN. Namun, bukankah pembela kecurangan itu menunjukkan watak Machiavellian, yaitu membenarkan segala cara termasuk yang paling jelek sekalipun? Pemerintah sekilas mencoba memerangi moralitas Machiavellian dengan memberikan ancaman sanksi administratif dan pidana bagi siapa pun yang berbuat curang. Tapi, bukankah itu menunjukkan tindakan pahlawan kesiangan?
Para guru yang dihukum itu merealisasikan etika keutamaan. Mereka lebih memilih "menjadi orang yang baik" ketimbang "berbuat baik". Etika bermuara pada pertanyaan: "Apa yang seharusnya Aku lakukan?" atau "Bagaimana seharusnya aku bertindak? ". Pertanyaan itu bergeser dalam etika keutamaan menjadi: "Aku harus menjadi orang yang bagaimana?" Etika keutamaan melampaui etika kewajiban dan etika bertujuan yang menyediakan prinsip tindakan yang mendorong seseorang memutuskan bagaimana berperilaku dalam situasi tertentu.
Aristoteles (384-322 SM), sebagaimana dikutip oleh James Rachels (Filsafat Moral, 2004: 312), menegaskan keutamaan merupakan "titik tengah yang dirujuk oleh dua cela: yang satu kelebihan dan yang lain kekurangan". Menjadi orang berani berarti berada dalam titik tengah dari dua ekstrem antara pengecut dan nekad.
Namun, etika keutamaan profesional yang hendak ditegakkan para guru selalu menghadapi kebuntuan, entah akibat dihantam persoalan ekonomi maupun dihadang struktur kekuasaan yang diberlakukan. Padahal, profesional mengandaikan pengakuan bisa bekerja karena sejumlah alasan, yakni: (1) kebanggaan karena diupah layak; (2) kualifikasi pendidikan yang memadai; (3) ada kode etik yang meregulasikan perilaku; dan (4) adanya kebebasan mengikuti hati nurani. Jika keempat alasan itu belum bisa dipenuhi, jangan heran apabila guru-guru cenderung permisif menerabas moralitas profesinya sendiri. Ekonomi dan hati nurani saling berkaitan sebagaimana sebuah ungkapan bilang: "Jangan bicara soal moral kalau di kantongmu tidak ada modal."
Triyono Lukmantoro
Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi
FISIP Universitas Diponegoro
Thursday, September 18, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment