Thursday, September 18, 2008

http://www.nabble.com/-sastra-pembebasan--Ke-Mana-Arah-Pendidikan-Kita----Kepedulian-atas-Pendidikan-Lahirkan-Manusia-Unggul-td15910427.html

Kebijakan Pendidikan
Ke Mana Arah Pendidikan Kita?
KOMPAS - Sabtu, 8 Maret 2008 | 01:50 WIB
Tonny D Widiastono

Siapa pun tahu, Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur merupakan daerah terkaya di Indonesia. Kekayaan itu termanifestasi dalam berbagai gedung megah di kota Tenggarong, ibu kota kabupaten, dengan arsitek perpaduan modern dan lokal. Taman-taman di kota tersebut juga tertata rapi. Kemewahan gedung pemerintah dan swasta juga merembet ke rumah para pejabat dan tauke di kota yang berjarak 45 menit penerbangan dari Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur. Semua itu kian lengkap dengan hadirnya Taman Wisata Pulau Kumala di tengah Sungai Mahakam yang mengalir melalui kota tersebut.

Kemegahan dan kemewahan gedung serta perumahan pejabat di Tenggarong itu bisa dimaklumi karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang berlimpah.

Namun, adakah kemegahan dan kemewahan itu merembes ke bidang-bidang lain, seperti pendidikan? Tengoklah kondisi bangunan banyak sekolah yang membutuhkan perbaikan. SMPN I Tenggarong yang terletak di jantung kota—Jalan Ki Hadjar Dewantara—kini memerlukan bantuan karena bangunan sudah rapuh dan bocor. Sementara itu, di Kecamatan Muara Badak masih ada SD filial yang terpaksa memanfaatkan rumah warga dengan kondisi seadanya. Dua sekolah itu hanya contoh.

Jangan terulang

Buruknya sarana pendidikan hampir selalu muncul di media. Atas berita itu, pemerintah setempat selalu seperti kebakaran jenggot. Namun, lagi-lagi tindakan baru bisa dilakukan bila tersedia anggaran. Jika tidak, sarana pendidikan itu dibiarkan hancur, tak peduli apakah bangunan itu akan menimpa murid atau gurunya.

Buruknya sarana pendidikan, tak hanya terjadi di tempat yang jauh dari ibu kota negara. Di Jakarta dan sekitarnya pun ada puluhan sekolah yang kondisi gedungnya menyedihkan, bahkan membahayakan keselamatan siswa.

Negara maju

Keadaan itu amat kontras dengan kesadaran para pemimpin negara maju perihal pendidikan, yang dinilai amat penting untuk membangun bangsa, diwujudkan dalam menyediakan anggaran dan berbagai keputusan politik yang mendukungnya.

Taiwan, negeri kecil yang hampir 60 persen wilayahnya berupa pegunungan, secara konstruktif mengutamakan pembangunan pendidikan. Disadari, kunci sukses pendidikan terkait besarnya alokasi dana serta besarnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan swasta. Dana yang selalu disediakan adalah 20 persen, angka yang dinilai relatif memadai untuk pengembangan pendidikan.

Bagaimana pendidikan di Malaysia dikembangkan? Negeri jiran yang semula hampir sepenuhnya meniru Indonesia itu sudah melangkah jauh, hasil pendidikan yang ditempatkan sebagai sarana membangun bangsa. Kesadaran pentingnya pendidikan itu didukung anggaran memadai. Rancangan Malaysia Pertama (1966-1970) memberi anggaran pendidikan 7,8 persen (sekitar 330 juta ringgit) dari seluruh anggaran 4,2 miliar ringgit. Pada Rancangan Malaysia Kesembilan, anggaran pendidikan naik jadi 20,6 persen dari seluruh anggaran di Malaysia.

Bagaimana dengan Indonesia? Kesadaran akan pentingnya pendidikan untuk membangun bangsa yang bebas dari kemiskinan dan keterbelakangan baru sebatas wacana. Terbukti, tuntutan 20 persen anggaran seperti diamanatkan UUD 1945 hasil amandemen tidak bisa dipenuhi. Berbagai akal dicoba. Lalu, muncul keputusan yang dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), anggaran 20 persen pendidikan sudah termasuk gaji guru. Padahal, di departemen mana pun, gaji guru tidak termasuk dalam anggaran pembangunan departemen terkait.

MK mengecewakan

Keputusan MK yang menguatkan putusan memasukkan gaji guru sebagai salah satu komponen anggaran pendidikan negara membuat Iwan Hermawan, Sekjen Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), kecewa. Keputusan itu merupakan kekalahan rakyat yang sedang memperjuangkan biaya sekolah murah.

>kern 401m<>h 9737m,0<>w 9737mkern 251m<>h 9738m,0<>w 9738m<

Dalam kacamata Direktur Institute of Education Reform Universitas Paramadina Utomo Dananjaya, tuntutan 20 persen anggaran pendidikan sebagaimana amanat UUD 1945 Amandemen adalah buah reformasi pendidikan. Pasal 31 UUD 1945 merupakan koreksi terhadap pemerintah dalam melaksanakan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa. Amandemen Pasal 31 juga mempertegas hak rakyat serta kewajiban pemerintah. ”Tetapi, amanat itu tak kunjung dipenuhi,” tutur Utomo.

Bagi Soedijarto, Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), keputusan MK itu menghasilkan hal-hal semu. Masuknya unsur gaji guru dalam 20 persen anggaran pendidikan memunculkan kekhawatiran tidak adanya dorongan untuk kenaikan anggaran pendidikan secara signifikan. Padahal, negara yang berpendidikan maju selalu menempatkan anggaran pendidikan sebagai yang teratas. Mengutip UNESCO, Soedijarto mengungkapkan, tahun 1996 anggaran pendidikan negara maju rata-rata 5,2 persen dari produk domestik bruto (PDB), negara berkembang 4,2 persen dari PDB, dan negara terbelakang 2,8 persen dari PDB. Namun, Indonesia sebagai negara berkembang baru 1,4 persen dari PDB.

Tahun 2004, data UNDP dalam terbitan bersama Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tahun 2001 anggaran pendidikan Indonesia sekitar 10 persen dari APBN (1,5 persen dari PDB), sementara Thailand 30 persen dari APBN, Myanmar 18 persen, dan Butan 16 persen dari APBN.

Rendahnya pemahaman pembangunan pendidikan yang termanifestasi dalam penyediaan anggaran jelas akan memengaruhi kualitas manusia Indonesia, selain dua indikator lain yang saling terkait, panjang usia dan standar hidup. Inilah yang sering dijadikan pegangan untuk melihat indeks pembangunan manusia (HDI) Indonesia yang amat rendah. Perbaikan kesehatan dan standar hidup tak akan berjalan sempurna jika pendidikan tidak ditangani serius. Pendidikan adalah kunci untuk memperbaiki pembangunan manusia Indonesia.

Kini, setelah muncul keputusan MK itu, lahir pertanyaan, ke mana arah pendidikan kita?(CAS/FUL/BRO/WAD/RAZ/ DYA/YOP/BEN/ANS/INE)

ANGGARAN PENDIDIKAN
Kepedulian atas Pendidikan Lahirkan Manusia Unggul
KOMPAS - Sabtu, 8 Maret 2008 | 02:15 WIB
Berbahagialah Anda yang memiliki pemimpin yang amat peduli dengan pendidikan. Mengapa? Sebab, dari kepedulian itu akan lahir manusia-manusia unggul.

Adalah Kabupaten Musi Banyuasin yang kini berubah total. Meski sebagai daerah penghasil minyak dan gas cukup besar di Sumatera Selatan, dulu daerah itu merupakan daerah paling tertinggal di Sumsel. Segala ketertinggalan itu kini coba diatasi melalui pendidikan.

”Pada tahun 2002 saya menentukan anggaran pendidikan di atas 20 persen sehingga biaya sekolah, mulai SD hingga SMA negeri, swasta, dan madrasah, dapat digratiskan. Buku pelajaran juga gratis. Untuk sekolah gratis, yang harus diperhatikan adalah guru. Penolakan pertama justru datang dari guru karena mereka kehilangan pendapatan sampingan,” tutur Bupati Musi Banyuasin Alex Noerdin yang menjadi bupati sejak 2002.

Guru, kunci sukses

Alex menyadari guru adalah kunci sukses pendidikan. Maka, keputusan menggratiskan pendidikan diikuti dengan memberikan kesejahteraan kepada guru berupa uang makan Rp 6.000 per hari. Selain itu, guru juga mendapat seragam dinas, bantuan transportasi sepeda motor atau speedboat. Tidak hanya itu, para guru juga ”diberi masa depan”. Guru honorer harus bisa diangkat menjadi PNS dan mendapat kesempatan meningkatkan kemampuan melalui program Wajib Kuliah. Tahun 2006 300 guru ikut program itu, tahun 2007 sebanyak 1.800 guru, dan tahun 2008 menjadi 3.000 guru. Cita-citanya, tahun 2009 sebanyak 7.200 guru di Musi Banyuasin sudah berijazah S-1.

”Untuk membiayai program sekolah gratis, kami harus meningkatkan pendapatan daerah dan mengefisienkan pengeluaran daerah. Kami juga melobi pemerintah pusat agar bagi hasil migas lebih transparan,” kata Alex yang juga Ketua Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas.

Kepala Dinas Pendidikan Musi Banyuasin Ade Karyana menambahkan, anggaran pendidikan Kabupaten Musi Banyuasin tahun 2007 sebesar 22,79 persen atau Rp 341,93 miliar, sedangkan 2008 naik menjadi 24,23 persen (Rp 390,14 miliar). Peningkatan anggaran pendidikan seiring dengan peningkatan APBD dari Rp 1,5 triliun (2007) menjadi Rp 1,6 triliun (2008).

Kondisi Yogyakarta

Berbeda dengan Musi Banyuasin, Daerah Istimewa Yogyakarta yang sejak lama dikenal sebagai kota pelajar justru anggaran pendidikannya belum memadai. Kabupaten Sleman, misalnya, anggaran pendidikan tahun 2008 ”hanya” 17 persen (Rp 63,7 miliar) dari total anggaran belanja non-gaji APBD 2008. Jumlah ini meningkat 2 persen dibandingkan dengan anggaran pendidikan 2007. Jika ditambah komponen gaji guru Rp 320 miliar, alokasi anggaran pendidikan Sleman mencapai Rp 383,7 miliar (45 persen) dari APBD 2008.

”Apakah anggaran ini ideal dan mencukupi? Entahlah,” tutur Pelaksana Harian Kepala Dinas Pendidikan Sleman Sunartono.

Dia menjelaskan, Sleman memiliki 500 SD. Jika tiap SD memerlukan dana operasional Rp 8 juta per bulan, berarti diperlukan Rp 96 juta per tahun. Untuk 500 SD, jumlah anggaran itu akan habis. Hitungan itu belum termasuk SMP dan SMA. ”Anggaran pendidikan tak akan mencukupi bila semua biaya operasional sekolah dibebankan kepada pemerintah. Maka, keterlibatan masyarakat diperlukan,” lanjut Sunartono.

Pemerintah Kabupaten Sleman juga menganggarkan Rp 3,1 miliar untuk perbaikan gedung SD/MI. Jumlah ini lebih rendah daripada dana APBD untuk klub sepak bola PSS Sleman sebesar Rp 5 miliar tahun 2008.

Sementara itu, untuk Kota Yogyakarta tersedia anggaran Rp 302,238 miliar. Dari jumlah itu, anggaran terbanyak untuk gaji (PNS) dan honor (GTT/PTT) sebesar Rp 195,789 miliar. Sisanya untuk kegiatan operasional dan infrastruktur pendidikan. Besaran anggaran ini, menurut Ketua DPRD Kota Yogyakarta Arif Noor Hartanto, masih relevan. Sebab, selain pendidikan, nyaris tidak ada bidang anggaran sektor lain yang sebanding. Untuk pembangunan sarana dan prasarana perkotaan, misalnya, hanya Rp 23,215 miliar atau untuk klub sepak bola PSIM hanya Rp 5,6 miliar. Bagaimana dengan anggaran perjalanan dinas? Konon komponen ini sulit dihitung.

”Yang jelas, anggaran pendidikan yang ditetapkan di Yogyakarta sudah sesuai kebutuhan riil,” ujar Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto.

Optimalisasi anggaran

Komentar menarik ihwal anggaran pendidikan seperti diputuskan Mahkamah Konstitusi muncul dari Bupati Jembrana, Bali, I Gede Winasa. ”Tak ada relevansinya mengomentari masalah itu karena Jembrana tidak pernah berpatokan pada persentase anggaran pendidikan. Optimalisasi anggaran jauh lebih penting,” tuturnya.

Jembrana termasuk daerah yang istimewa dalam mengelola pendidikan dan kesehatan. Kabupaten di ujung barat Pulau Bali itu adalah satu dari sedikit daerah di Indonesia yang sejak tahun 2001 menggratiskan pendidikan dari SD hingga SMA/ SMK dan membebaskan dari semua bentuk pungutan serta memberikan beasiswa bagi siswa berprestasi dari sekolah swasta.

Meski pendapatan asli daerah hanya Rp 15 miliar (2007), Jembrana berani memberikan penghargaan kepada guru berupa insentif Rp 5.000 per jam (di luar tunjangan guru), bonus, dan gaji ke-14 sebesar Rp 1 juta per tahun. Guru yang ingin melanjutkan pendidikannya juga dibantu pembiayaannya oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana.

”Bagi kami, investasi sumber daya pendidikan berada di atas segalanya,” kata Winasa.

Maka, benarlah ungkapan di awal tulisan. Berbahagialah Anda yang memiliki pemimpin yang amat peduli dengan pendidikan sebab dari sana akan lahir manusia-manusia unggul. (cas/ful/bro/wad/raz/ dya/yop/ben/ans/ine/ton)

No comments: