Ironi, Orang Miskin Dilarang Sekolah
[Opini]
Ironi, Orang Miskin Dilarang Sekolah
Oleh Hendrizal SIP
Di negara Indonesia yang sudah 63 tahun meraih kemerdekaannya, pendidikan cenderung tampak hanya sebatas angan-angan bagi kaum miskin. Tidak setiap orang Indonesia bisa merdeka dan mampu memperoleh pendidikan yang baik karena tingkat kesejahteraan yang kurang bagus. Orang miskin dilarang sekolah! demikian sindiran Eko Prasetyo dalam bukunya.
Ironisnya, di sisi lain, selama ini, pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, belum pernah tegas memangkas praktik korupsi di departemennya. Proyek-proyek yang dikerjakan di berbagai direktorat hanya dinikmati oleh sebagian kecil pencari pendidikan. Sebagian besar justru masuk ke kantong para pengelolanya. Sebagai contoh, pelatihan-pelatihan yang dilakukan Depdiknas di hotel-hotel berbintang dengan dalih pemberdayaan, termasuk proyek yang tidak secara langsung dapat dinikmati pengguna.
Dapatkah Mendiknas pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memberantas berbagai proyek yang tidak langsung dinikmati siswa dan mahasiswa? Dapatkah berbagai proyek dan bentuk pelatihan itu dipilah-pilah yang penting dan yang tidak penting? Sisa proyek itu dapat dialokasikan secara langsung kepada sekolah-sekolah dan orang miskin. Kalau hal itu dilakukan, mungkin sekolah tidak perlu menarik iuran pendidikan terlalu banyak.
Hal itu sekarang tambah ditingkahi dengan Manajemen Berbasis Sekolah dan Pembentukan Komite Sekolah, yang dampaknya bisa dirasakan bahwa praktik pendidikan sekarang ini berbiaya mahal dan boros. Bisa dipahami bila peran Komite Sekolah juga dipertanyakan oleh Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) beberapa waktu lalu.
Secara teoretis Komite Sekolah ini baik, namun di lapangan malahan menjadi lahan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu yang akhirnya memberatkan masyarakat, ujar Gino Vanollie, pengurus FGII. Bahkan, ia menambahkan, ada anggapan Komite Sekolah menjadi alat legitimasi komersialisasi dunia pendidikan. Akibat dari itu, semua aktivitas sekolah senantiasa dikaitkan dengan uang. Tidak pada idealisme, pengabdian dan religiusitas.
Religiusitas terkait dengan pendidikan itu perlu kita beri catatan tersendiri, agar dijadikaan agenda perbaikan oleh Mendiknas pemerintahan SBY. Menurut Mangunwijaya, religiusitas lebih melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak memberi misteri bagi orang lain karena menafaskan intimitas jiwa, yakni cita rasa yang menyangkut totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) ke dalam si pribadi manusia. Bila orang melihat bahwa perilaku korupsi bisa menyebabkan bencana bagi rakyat kecil yang tidak berdosa, dengan kesadaran sendiri dia tidak akan melakukan tindakan tercela, namun menggunakan hati nuraninya untuk meringankan beban penderitaan rakyat yang dilanda musibah seperti mereka yang miskin, kena bencana, para pengungsi di negeri sendiri.
Payahnya, gejala pragmatisme telah menyergap dan menyeruak pada berbagai aktivitas manusia, baik di keluarga, di sekolah, maupun di masyarakat. Orang dapat melakukan apa saja asal bisa mencapai keinginan, tanpa mempedulikan proses yang ditempuh itu benar atau salah.
Seharusnya orang bisa menjadi kaya karena kerja keras dan hidup hemat. Namun kini justru banyak dijumpai orang yang enak-enakan tapi dapat mendatangkan uang banyak seperti menjadi koruptor. Hanya dengan kekuasaannya, orang bisa mengalirkan bergebok-gebok uang dalam rekening pribadi dan deposito, baik mereka yang berprofesi anggota legislatif, hakim, pengacara, birokrat, penanggung jawab proyek, yang semuanya adalah orang-orang berpendidikan.
Terkait dengan ini, Prof Dr Suyanto di hadapan peserta workshop Koalisi Antarumat Beragama Antikorupsi, di Yogyakarta, beberapa waktu lalu, menyatakan keheranannya bahwa sesungguhnya sebagian besar para koruptor di negeri ini diyakini saat duduk di bangku sekolah atau pendidikan termasuk siswa pandai. Bahkan nilai mata pelajarannya terbilang cukup tinggi di atas rata-rata kemampuan siswa lainnya. Namun, bagaimana mungkin siswa yang begitu cerdas itu begitu lulus sekolah menjadi koruptor? Apakah memang ada yang salah dalam sistem pendidikan di negeri ini? Ini agenda bagi Mendiknas pemerintahan SBY untuk menjawab dan menyelesaikannya.
Sementara di keluarga, para orangtua pun sudah tidak punya waktu untuk memberi nasihat guna menegakkan spiritualitas karena dibelit oleh kebutuhan untuk mencarikan makan. Kegiatan beragama masih merupakan rutinitas, belum menyentuh kebutuhan untuk memuaskan dahaga berdekatan dengan Tuhan. Acap kali dimensi spiritual dikorbankan untuk memperoleh kebendaan.
Rendahnya spiritualitas keluarga ini diperparah daya dukung ekonomi keluarga yang rapuh. Akibatnya, banyak orang melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai religiusitas karena tuntutan perut mengalahkan rasa malu. Padahal dibandingkan di era 1960-an, di era 2000-an ini kebutuhan pangan, sandang dan papan relatif lebih baik.
Maling kecil dan garong tempo dulu masih malu dengan melubangi dinding di malam hari untuk mencuri, namun kini maling besar berupa para koruptor berdasi bangga jika hakim membebaskannya dari hukuman dan keluar sebagai pahlawan tanpa perlu merasa bersalah. Anak-anak sekolah belajar hanya untuk mengejar nilai dengan melupa-kan etika dan tata krama. Banyak orang mengejar gelar dengan membeli ijazah palsu di pabrik gelar. Para politisi yang duduk di DPR dan DPRD juga lupa bahwa mereka adalah wakil rakyat. Mereka banyak berbicara demokrasi tapi sambil melakukan korupsi.
Terdapat dua hal yang menyebabkan penyimpangan perilaku masyarakat yang berpengaruh pada pendangkalan nilai-nilai spiritualitas, termasuk di dunia pendidikan: (1) Belum tercapainya keadilan di masyarakat. Asas pembangunan nasional seperti asas manfaat, demokratis, adil dan merata, kesinambungan, keserasian, asas hukum, kemandirian, kejuangan dan asas iptek hanya retorika dan macan ompong GBHN, yang tidak pernah dilaksanakan apalagi menjadi prioritas. Hal ini dapat dilihat dari ketimpangan sosial kaya-miskin, pembangunan Jawa dan luar Jawa. Kita tidak perlu terperangah bila saudara kita di Aceh dan Papua tidak begitu patuh. Untuk menciptakan harga kebutuhan pokok yang sama di seluruh Indonesia, para pejabat pun tidak dapat melakukan.
Butir pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok Indonesia masih sebatas retorika. Hasil pembangunan yang semestinya bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, dan bagi pengembangan pribadi warga negara, ternyata sebagian besar cuma dinikmati oleh pejabat, pengusaha, dan para kroninya. Pejabat makan nangka sedangkan rakyat mendapat getahnya. Penegakkan hukum juga tampak setengah hati yang tidak mampu menyeret para koruptor kakap tetapi hanya dapat menjerat maling kecil yang kelaparan.
Lemahnya penegakkan hukum ini berdampak luas pada perwujudan masyarakat madani yang menjadi idaman masyarakat luas. Tanpa keadilan dan penegakkan hukum, perwujudan masyarakat madani hanya sekadar harapan. Padahal, menurut Nurcholish Madjid, semangat pada kepatuhan hukum atau aturan merupakan tiang pancang suatu masyarakat madani yang beradab.
(2) Memburuknya tingkat kesejahteraan di masyarakat akibat tidak meratanya kesempatan memperoleh pendapatan. Ini berakibat pada kualitas keluarga dan kualitas pembangunan manusia (human development index). Bahkan, indeks pembangunan SDM (HDI) Indonesia tertinggal dari negara-negara ASEAN. Berdasarkan laporan United Nations Development Programme (UNDP) Juli 2004 yang dikeluarkan secara resmi oleh Program Pembangunan PBB, HDI bangsa Indonesia berada di peringkat 111 dari 175 negara. Ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2002 yang berada di peringkat 110. Posisi itu jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia (76) dan Filipina (98). Dalam laporan pembangunan manusia internasional terakhir, Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 179 negara (Kompas, 4-5-2006). Agar masyarakat bisa memenuhi kebutuhan primer, sudah semestinya pejabat pemerintah memiliki spirit merealisasikan kebutuhan pangan, sandang dan papan masyarakat secara berkeadilan.
Pemerintah berkewajiban sebagai fasilitator pembangunan dengan berbekal spirit membangun infrastruktur ekonomi dan pendidikan agar segera bisa ditingkatkan kesejahteraan penduduk di daerah yang jumlahnya jutaan. Dengan upaya ini diharapkan arus urbanisasi dapat dibendung dan transmigrasi penduduk lebih bisa dioptimalkan. Di sini juga diperlukan pemerintah yang mampu melindungi guru, sebab pendidikan yang dilakukan oleh guru sanggup mengubah perilaku yang brutal menjadi penyayang, yang bodoh menjadi cerdas, dan yang arogan menjadi penyabar.
Atas semua itu, untuk memasuki masyarakat dan bangsa yang berkeadaban, dibutuhkan prasyarat demokratisasi, penegakkan hukum dan hak asasi manusia, serta religiusitas. Tetapi untuk merealisasikan semua itu dibutuhkan tingkat pendidikan yang baik dan ketahanan mental yang kuat untuk mempertahankan budaya yang telah dimiliki bangsa kita.
Hal itu tugas pemerintahan SBY untuk mewujudkannya. Rakyat hanya menunggu religiusitas itu memasuki relung-relung pribadi para politisi dan pejabat pemerintahan sekarang. Dalam masyarakat kita yang berciri patronase ini, rakyat akan meniru dan mengamini yang baik dari pemimpin. Di sinilah pentingnya pemimpin memberi teladan.
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana S2 PIPS Universitas PGRI Yogyakarta, Research Fellow di BRIE India,
Thursday, September 18, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment