Meliburkan Sekolah, Itu Preseden Buruk
Kamis, 29-11-2007 | 00:24:26
SUARA REKAN (SERAMBI INDONESIA)
Seluruh sekolah dari TK hingga SMA di Kota Banda Aceh, pada Senin (26/11) diliburkan karena guru ikut upacara HUT ke-62 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Langkah yang tak populer itu mendapat kecaman dari banyak orangtua murid, karena mengorbankan jam belajar siswa. Di samping, menempatkan guru sebagai sosok yang sangat eksklusif.
Seperti disiarkan harian ini kemarin, banyak orangtua murid menyampaikan keheranan dan ketidaksetujuannya atas pengliburan sekolah yang diambil pemegang otoritas pendidikan di kota ini. Hanya karena, guru ikut upacara HUT PGRI.
Apa-apaan ini, apa dasarnya semua kegiatan sekolah dihentikan, hanya karena guru ikut apel bendera HUT PGRI, kata seorang wali murid yang juga dosen senior Fakultas Pertanian Unsyiah, Darussalam ketika menelepon redaksi harian ini.
Pengliburan itu, apa pun alasannya, jelas akan terus menuai banyak protes dan akan menjadi preseden buruk. Apalagi --terutama di Aceh-- PGRI bukan satu-satunya organisasi profesi guru. Jadi, pengliburan sekolah dua hari lalu, terkesan mengeksklusifkan PGRI. Bagaimana nanti jika organisasi guru yang lain berulangtahun, apakah sekolah juga akan diliburkan? Itulah antara lain preseden buruk yang bakal dituai pemegang otoritas, yang meliburkan sekolah pada hari upacara HUT PGRI dua hari lalu.
Bagi orangtua murid, meliburkan sekolah hanya karena guru ikut upacara, jelas tidak bisa diterima dengan akal sehat. Kalau sekadar upacara, mestinya bisa dilaksanakan pada Minggu. Lihat saja, untuk menghindari libur pegawai dan sekolah, sekarang pilkada dilaksanakan pada Minggu. Padahal, dibandingkan dengan upcara HUT PGRI, pilkada jauh lebih penting bagi penentuan nasib rakyat.
Kasus pengliburan sekolah hendaknya menjadi pelajaran bagi pemegang otoritas dalam dunia pendidikan. Jangan sesekali mengambil keputusan yang tidak populer serta aneh-aneh. Apalagi, Aceh termasuk daerah yang paling banyak libur sekolah.
Bicara soal organisasi guru, beberapa waktu lalu, seorang tokoh nasional dalam dunia pendidikan secara tegas mengatakan, PGRI telah gagal memperjuangkan kesejahteraan dan kemampuan profesi guru. Sebagai organisasi profesi, tidak memperhatikan kemampuan profesi.
Hal itu memunculkan ketidakpuasan di kalangan guru terhadap PGRI yang selama ini menjadi satu-satunya organisasi guru, sejak masa Orde Baru (Orba). Selanjutnya, PGRI berkembang menjadi organisasi kuno dan selama puluhan tahun mengabdi kepada kekuasaan dan nyaris tak ada perubahan. Dengan latarbelakang seperti itu, kemudian bermunculan sejumlah organisasi profesi guru baik di tingkat nasional maupun lokal seperti Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) dan Kobar-GB.
Guru yang bernaung di bawah bendera PGRI tak dapat kita persalahkan. Sebab, yang menjadi pengurus organisasi itu bukan guru. Tapi pejabat kantoran. Makanya, tentang kewenangan guru, jangankan untuk yang bersifat birokratif, untuk yang bersifat edukatif saja mereka tidak mempunyai kewenangan (keberanian) untuk memutuskan, apalagi menolak. Guru hanya berperan sebagai pelaksana.
Contohnya, penglibatan murid dalam berbagai acara yang dilakukan pejabat. Mereka dimanfaatkan sebagai penggembira yang harus bertepuk tangan, menyanyi dan melambaikan bendera. Sungguh ironis. Di satu sisi, pejabat tersebut mendengungkan pentingnya pendidikan. Namun di sisi lain, murid harus menyia-nyiakan waktu belajarnya dan yang lebih menyedihkan, guru tidak berani menolaknya. Padahal mereka tahu, hal itu salah dan merugikan murid.
Thursday, September 18, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment