Friday, September 19, 2008

dari waspada online, 17 September 2008

Guru terpencil di NAD sulit memperoleh sertifikasi PDF Cetak E-mail
Wednesday, 17 September 2008 12:40 WIB
WASPADA ONLINE

BANDA ACEH - Para guru SD/MI/SMP/MTS yang bertugas di perdesaan dan daerah terpencil di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mengaku kesulitan untuk memperoleh sertifikasi, karena belum memiliki ijazah sarjana yang merupakan syarat utama mengikuti program tersebut.

Ketua Presidium Koalisi Barisan Guru Bersatu (KOBAR-GB) Provinsi NAD, Sayuthi Aulia, di Banda Aceh, Selasa (16/9), menyatakan, para guru terpencil itu tidak mungkin meninggalkan tugas untuk mengikuti kuliah S1, karena perguruan tinggi yang terakreditasi hanya ada di ibu kota provinsi yang sangat jauh dari tempat tugas mereka.

Ia mengatakan, penerapan Undang- Undang No 14/2006 tentang laporan akuntabiltas kinerja, khususnya masalah sertifikasi guru, banyak menimbulkan masalah, ketidaknyamanan dan kecemburuan sosial di kalangan guru yang bertugas di perdesaan dan daerah terpencil dengan guru di perkotaan.

Ia juga menilai, kebijakan sertifikasi guru selama ini telah menurunkan konsentrasi guru dalam melaksanakan tugas mengajar di sekolah, karena kesibukan dengan peliknya urusan sertifikasi.

Mekanisme sertifikasi guru yang terjadi selama ini di NAD tidak memperhitungkan latar belakang dan masa kerja seorang guru dan akibatnya telah menimbulkan reaksi, cemburu sosial yang berdampak pada penurunan semangat dan etos kerja guru dalam melaksanakan tugas mengajar di sekolah.

"Sebab ada guru yang mengajar puluhan tahun tidak bisa ikut sertifikasi, karena tidak dapat memenuhi syarat S-1, sementara guru yang baru bertugas selama lima atau enam tahun sudah lulus sertifikasi," katanya.

Kemudian, salah satu persyaratan lainnya untuk ikut sertifikasi yaitu mengumpulkan dokumen portofolio yang di dalamnya ada sertifikat-sertifikat.

Khusus guru-guru di daerah yang terkena musibah tsunami, sertifikat-sertifikat mereka telah hilang, sehingga mereka terpaksa melakukan penipuan yang dipaksakan oleh suatu aturan dengan cara menjiplak sertifikat orang lain, katanya.

Dikatakannya, banyak kepala sekolah yang melakukan penipuan, dengan terpaksa harus menandatangani surat keterangan, karena ada aturan bahwa seorang guru baru diperbolehkan terima gaji sertifikasi apabila guru tersebut mengajar 24 jam pelajaran.

"Sementara sekolah yang tertimpa tsunami rata-rata guru mengajar 5 sampai dengan 10 jam per minggu, karena 90 persen siswanya telah menjadi korban bencana alam tersebut," ujarnya.

Untuk itu, Sayuthi menawarkan solusi untuk sertifikasi guru yakni harus berdasarkan masa kerja. Guru yang telah bertugas 25 tahun ke atas dapat diberikan penghargaan dengan persyaratan ikut sertifikasi berdasarkan portofolio tanpa harus memiliki ijazah S-1.

Kemudian, bagi guru-guru dan kepala sekolah berprestasi dapat diberi kesempatan untuk ikut sertifikasi meskipun masa kerja mereka belum mencapai 10 tahun.

Selanjutnya, bagi guru nonsarjana yang bertugas di perdesaan dan daerah terpencil diberikan pelatihan khusus selama enam bulan di wilayah kerja masaing-masing. Setelah enam bulan, dilakukan tes kompetensi.

Bagi guru yang lulus dapat memperoleh sertifikat khusus untuk syarat ikut sertifikasi dan bagi guru yang tidak lulus dapat ikut kembali sampai lulus, kata Sayuthi.

Sementara itu, pemberian sertifikasi guru yang dilaksanakan selama ini belum proporsional, karena banyak guru yang telah dinyatakan lulus tahun 2006 sampai dengan sekarang baru menerima gaji sertifikasi dua kali, dan setelah itu putus sampai sekarang.

Berdasarkan aturan, bagi guru yang telah lulus sertifikasi akan mendapat gaji dua kali lipat dari gaji pokok.
(ags/ann/cix)

No comments: