Thursday, September 18, 2008

dari kompas Juli 2008

Upah Guru Terlalu Minim
Presiden Diminta Tak Buru-buru Tanda Tangani RPP Guru
Rabu, 23 Juli 2008 | 02:01 WIB

Jakarta, Kompas - Kesejahteraan guru yang masih rendah, meskipun sudah ada Undang-Undang Guru dan Dosen, memunculkan tuntutan adanya ketentuan upah minimum guru. Adanya ketentuan ini sangat dibutuhkan agar posisi tawar guru tidak tetap atau guru honorer menjadi lebih kuat.

”Soal kesejahteraan guru, pemerintah masih berorientasi ke guru pegawai negeri sipil (PNS). Padahal, upah guru honorer sangat menyedihkan,” kata Suparman, Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) di Jakarta, Selasa (22/7).

Suparman mengatakan bahwa kisaran upah guru honorer di berbagai wilayah Tanah Air Rp 50.000-Rp 500.000 per bulan. Selain itu, posisi guru honorer ini lemah karena kapan pun bisa diberhentikan tanpa alasan yang jelas.

Yanti Sriyulianti, Wakil Sekretaris Jenderal FGII, mengatakan, besarnya upah minimum guru honorer itu diharapkan sama dengan gaji pokok guru PNS yang berkisar Rp 1,3 juta.

Jangan buru-buru

Di Makassar, Sulawesi Selatan, Komisi X DPR meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar tidak buru-buru menandatangani Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Guru yang tengah menuai kontroversi. Presiden harus mencermati bahwa draf RPP yang ada saat ini tidak memberi bekal kesejahteraan hari tua bagi sekitar 1 juta guru yang segera pensiun.

Hal tersebut dikemukakan anggota Komisi X DPR An- war Arifin (Fraksi Partai Golkar) dan Cyprianus Aoer (Fraksi PDI-P) di sela-sela reses di Makassar. Hal senada dikemukakan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia Sulawesi Selatan, Muh Asmin.

”Draf RPP yang ada sekarang benar-benar menzalimi para guru yang berusia 50 tahun ke atas dan bermasa kerja lebih dari 25 tahun. Mereka sudah berjasa mendidik presiden, menteri, dan tokoh-tokoh yang banyak berperan mengelola negara saat ini, tapi pengabdian mereka justru dinafikan dan dipersulit untuk memperoleh sertifikat pendidik,” ujar Anwar. Padahal, sertifikat itulah yang bakal digunakan para guru untuk memperoleh tunjangan hari tua yang memadai.

Cyprianus mengingatkan, sebuah regulasi yang buru-buru diterbitkan di tengah kontroversi tataran publik tidak akan produktif bagi rezim yang menandatanganinya.

”Presiden SBY harus mengingat bahwa dari 2,7 juta guru yang ada saat ini, sekitar 30-40 persen atau sekitar 1 juta di antaranya akan merasa terkhianati oleh pemerintah yang seolah- olah berjuang menyejahterakan guru, tapi ternyata omong kosong,” paparnya. (INE/ELN/NAR)

No comments: