Renstra Bandung Cerdas 2008 Dikhawatirkan Gagal
Disdik Kota Bandung Keberatan Pengambilalihan SMA/SMK
BANDUNG, KOMPAS-- Wacana pengambilalihan pengelolaan Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan dari pemerintah daerah kembali bergulir. Dinas Pendidikan Kota Bandung khawatir, pengambilalihan tersebut justru mengakibatkan inefektivitas pelayanan pendidikan. Ekstrimnya, bakal terkatungnya rencana strategis Bandung Cerdas 2008.
Wakil Kepala Dinas Pendidikan Evi S Shaleha khawatir, rencana pengambilalihan wewenang tersebut bakal berpotensi menghambat efektivitas program rintisan wajib belajar pendidikan menengah (12 tahun) dalam Renstra Bandung Cerdas 2008 yang telah digulirkan Pemkot Bandung. Sebabnya, dibutuhkan supervisi langsung daerah terhadap pihak SMA/SMK untuk sinkronisasi program ini.
”Jelas sangat signifikan berpengaruh terhadap program (Bandung Cerdas 2008) ini. Fatalnya, bakal merubah rencana strategis yang telah jauh-jauh hari dibuat. Soalnya, pengelolaan SMA/SMK di sini masih berpatokan ke PP yang lama (PP Nomor 25/2000), belum diantisipasi sesuai draf revisi,” ucapnya.
Jika draft revisi PP Nomor 25/200 ini jadi diberlakukan, secara otomatis daerah bakal kehilangan wewenang dalam hal supervisi, penindakan, pengaturan, maupun penentuan anggaran untuk jenjang pendidikan menengah tinggi ini. Evi berpandangan, kondisi ini justru bakal berdampak pada tidak maksimalnya pelayanan pendidikan.
"Semestinya, otonomi pendidikan itu paradigmanya tetap didekatkan dengan pelayanan masyarakat. Tidak efektif dan efesien jika provinsi harus mengawasi dan menindak langsung ribuan SMA/SMK di daerah. Selain jarak, efektivitas biaya jadi kendala. Jadi, putusan ini semestinya dikembalikan lagi ke masyarakat. Biarkan mereka yang memilih,” ucapnya.
Jika pun ketentuan ini jadi diberlakukan, Evi berpandangan, pertimbangannya harus jauh lebih besar dari hilangnya efektivitas pelayanan. ”Untuk anggaran. Bukan lebih baik jika dilakukan seperti selama ini ? Provinsi menyalurkannya dalam bentuk block grant,” tambahnya.
Tunjangan daerah
Di lain pihak, Sekretaris Jendral Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan berpandangan sebaliknya. Dari kacamata guru, rencana pengambilalihan ini justru bakal berimplikasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan. Salah satunya, mengenai penyeragaman tunjangan khusus daerah.
”Di provinsi (Jabar), sesuai SK Gubernur, besarnya tunjangan daerah bagi guru besarnya mencapai Rp 800.000. Hal ini setidaknya sudah dirasakan oleh sejumlah guru SLB (sekolah luar biasa). Jika di daerah, belum tentu setiap guru dapat. Soalnya, ada tidaknya tunjangan daerah jelas bergantung pada kondisi APBD,” ucap Iwan.
Menurut Iwan, jika berkeberatan akan pengambilalihan tersebut, konsekuensinya pemda semestinya bersedia menjamin kesejahteraan guru. Termasuk, menanggung beban 40 persen anggaran dari total tunjangan profesi guru seperti yang tertulis di RPP tentang Guru. Belum lagi, pikul tanggung jawab mengenai 35 persen anggaran total BOS yang semestinya jatuh ke provinsi.
”Jadi, bisa dibayangkan bagaimana luar bisanya beban biaya yang dipikul daerah jika tetap mempertahankan pengelolaan. Sebenarnya, kuatnya wacana penolakan daerah ini tidak lain adalah ketakutan akan hilangnya DAU (dana alokasi umum) yang mengikuti pengelolaan (SMA/SMK) ini,” paparnya kemudian.
Pengambilalihan pengelolaan SMA/SMK dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi ini sebenarnya berangkat dari upaya riil membagi beban biaya dan tanggung jawab pendidikan di daerah. Terakhir, diperoleh informasi bahwa draf ini terpaksa dikembalikan lagi ke Departemen Dalam Negeri untuk disempurnakan. Padahal, sebelumnya, draf ini sudah dserahkan ke Sekretaris Kabinet untuk ditandatangani oleh Presiden (Kompas, 3/11/2006).(jon)
Thursday, September 18, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment